Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Keadaan komunikasi pejabat publik hari ini, tak ideal. Itu kalau tak ingin menggunakan frasa: berkeadaan buruk. Ig @katadatacoid, 3 September 2024, memuat ucapan Menteri Komunikasi dan Informatika, “Kami sudah berupaya tracking. Akan kami umumkan pemilik akun Kaskus ‘Fufufafa’, jika sudah tahu. Yang pasti bukan Gibran Rakabuming Raka.” Ucapannya mengandung pernyataan yang saling bertentangan di tingkat kalimat. Juga pada tingkat konteks, yang menyertai kalimat dilontarkan.
Di tingkat kalimat, di mana letak kesahihan pernyataan “akan kami umumkan-jika sudah tahu”? Ini artinya saat itu belum tahu. Namun juga memastikan pengetahuan: “yang pasti bukan Gibran…”. Sudah tapi belum, belum tapi sudah.
Makna kalimat di atas membingungkan. Tak bisa jadi acuan, jika dimaksudkan untuk memberi kejelasan pada publik. Sedangkan di tingkat konteks, berbagai akun media sosial dengan caranya yang kreatif ~bahkan tak terduga~ telah mencapai ujung penyelidikan: mampu memunculkan kandidat terkuat, Sang Pemilik Akun. Pernyataan di atas, memosisikan penyelidikan baru awal dilangsungkan. Pernyataannya tak berazas kebutuhan publik.
Akun Fufufa jadi pembicaraan intensif selama dua pekan terakhir. Ini lantaran diduga pemiliknya adalah wakil presiden terpilih, yang segera dilantik. Juga dikaitkan dengan ujarannya yang cabul, seksis, menyerang kehormatan. Bahkan ditujukan pada Presiden terpilih, yang hendak didampinginya.
Peristiwanya sudah berselang lama. Tak kurang dari 10 tahun. Dengan turut berkomentarnya seorang menteri, muncul pertanyaan: apakah Fufufa merupakan akun terburuk dalam sejarah Indonesia bermedia sosial? Banyak akun yang lebih buruk di jagat digital. Tapi tak mengundang menteri berkomentar. Komunikasi publik Pak Menteri untuk apa?
Lain pula yang disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Atgas, dalam menyikapi polemik dualisme kepemimpinan Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Sengketa kepengurusan itu, mulai jadi perhatian publik di pekan kedua Bulan September.
Dari kutipan yang dimuat iNews.id, 5 September 2024, diungkapkan, “Kalau kami di pemerintah ya, ini kan urusan internal Kadin. Sebenarnya dan sudah diselesaikan dengan keputusan munaslub yang ada. Pemerintah dalam hal ini tentu akan ikut dengan keputusan oleh teman-teman di Kadin”.
Pernyataan di atas menegaskan posisi pemerintah, untuk menjadikan urusan Kadin sebagai urusan internal organisasi. “Ini kan urusan internal kadin”. Tapi pernyataan lanjutannya mempertegas keterlibatannya sebagai eksternal: “Pemerintah dalam hal ini akan “ikut” dengan keputusan oleh teman-teman di Kadin”.
Teman mana yang dimaksud? Teman-teman yang menyelenggarakan munaslub. Pemerintah justru tak membiarkan urusan Kadin tetap internal. Dalam realitasnya, teman yang tak turut munaslub, tak merasa pentingnya penyelenggaraan musyawarah itu.
Lagi pula pernyataan di atas mengabaikan realitas: justru dengan adanya munaslub, dualisme kepemimpinan muncul. Bukan justru selesai. “Sebenarnya dan sudah diselesaikan dengan keputusan munaslub”. Mana ujung dan pangkalnya tak diperhatikan. Buruknya komunikasi publik, bersumber: diremehkannya logika publik oleh pemilik otoritas.
Namun fenomena di atas, bukan khas dan hanya terjadi di Indonesia, maupun negara sedang berkembang saja. Di negara maju pun, keadaan serupa sering terjadi. Vernie Oliveiro, 2016, dalam “The Challenge of Public Communication”, menceritakan peristiwa yang terjadi di negara maju, sebesar Inggris.
Dalam episode serial televisi BBC, “The Thick of It”, dikisahkan adanya seorang menteri yang ditugaskan mengumumkan kebijakan untuk mengembangkan aplikasi telepon seluler, pada kalangan remaja.
Buruknya komunikasi terjadi, saat: pertama, menteri tersebut tak mengetahui kebijakan seutuhnya. Ia tak menguasai pesan yang disampaikan. Kebijakan ternyata bersumber dari proyek yang dikembangkan mitra pemerintah.
Kedua, menteri itu tak tahu beda antara “download” dengan “upload“. Pidato disampaikan dengan gagap dan tersendat-sendat. Juga kacau balau saat sesi tanya jawab. Diduga akibat pemahaman yang tak utuh, menteri itu meremehkan atasannya seraya memamerkan pemahamannya sendiri.
Seluruhnya berkembang jadi peristiwa yang tragis, saat Sang Menteri disergap pertanyaan oleh jurnalis. Keadaan diperbaiki, saat Perdana Menteri bergerak menahan kerusakan lanjutan, dengan menghentikan kebijakan itu sepenuhnya.
Mengapa komunikasi pejabat publik sering tak memuaskan, bahkan jadi peristiwa yang buruk? Sementara di sisi hadapannya: kebijakan yang baik dapat pudar oleh buruknya komunikasi.
Komunikasi publik ~termasuk yang dilakukan pejabat publik~ bukan cabang pengetahuan baru. Hull University, 2024, pada artikelnya “Public Communication: Introduction”, menyebut: komunikasi publik merupakan pesan apa pun yang disampaikan kepada publik.
Baik disampaikan secara langsung, maupun dimediasi perangkat cetak, siaran maupun elekronik. Seluruhnya relevan dengan pernyataan Hitesh Bhasin, 2023, dalam “Public Communication – Definition, Importance and Types”.
Bhasin menyebut, komunikasi publik sebagai bentuk komunikasi strategis untuk menyampaikan ide, program, pemikiran, presentasi, data maupun propaganda, kepada publik, pemerintah, pelajar, profesional, atau khalayak khusus.
Tujuan komunikasi itu: memberi tahu publik, informasi yang terkait kepentingannya. Termasuk mitigasi pasca bencana, juga saat pihak tertentu menyampaikan penyelenggaraan acara tertentu, yang memerlukan perhatian publik.
Oliveiro ~yang merupakan peneliti utama di The Institute of Governance and Policy, Civil Service College. Juga pandangannya yang diperkuat penelitiannya menyangkut tata kelola, narasi politik, maupun masyarakat sipil~ menekankan: upaya mengenali karakterisitk publik, merupakan tahap yang mutlak dilakukan.
Mengkomunikasikan pesan dari sudut pandang publik, tidak menyinggung publik seraya menumpangkan kepentingan penyampaian pesan sebagai pemecahan masalah publik, juga memberi tahu publik hal yang yang belum pernah dipikirkan sebelumnya, merupakan resep mujarab terbentuknya saling pengertian.
Mutlaknya pengenalan terhadap publik juga menghindarkan gagalnya komunikasi, lantaran kehadiran ilusi otoritas pejabat publik. Otoritas ini dipercaya, menghasilkan ketundukan publik secara serta merta. Tanpa perlu mengenali karakternya, dipastikan publik menerima seluruh pesan yang disampaikan. Dalam realitasnya, sama sekali tak seperti itu.
Adanya bias oleh ilusi otoritas yang melekat di berbagai peristiwa komunikasi publik, diperburuk oleh masifnya produksi dan distribusi informasi termediasi digital. Hari ini, setiap orang dengan mudah dan murah dapat memproduksi dan mendistribusikan informasi untuk dikonsumsi publik.
Gambaran gamblangnya digambarkan domo.com. Institusi yang menerbitkan Data Never Sleep, dengan seri terbarunya 11.0, terbit tahun 2023. Pada terbitan terbaru itu ditunjukkan aktivitas masyarakat dunia berkegiatan informasi setiap menit, dengan menggunakan platform digital yang beroperasi global.
Implikasi masifnya aktivitas berinformasi: monopolisisasi kanal, yang diikuti monopolisisi pesan dan berujung pada monopolisasi penerimaan pesan di era tak termediasi digital, seluruhnya berubah. Komunikasi publik harus bersaing dengan informasi yang diproduksi publik. Produksi yang juga hadir dengan berbagai kreativitas, agar memperoleh perhatian.
Corine Esse, 2022, dalam “The Digital Transformations of Public Communication: Breakdown, Continuity or Improvement of the Communication Potential of Cameroonian Administrations”, menggambarkan keadaan itu dalam abstrak penelitiannya.
Komunikasi publik telah mengalami perubahan besar sejak digitalisasi medium. Dalam realitasnya, komunikasi ini terguncang dan berubah secara drastis. Meletakkannya pada posisi tak aman dari risiko persaingan pesan.
Nampaknya Esse menegaskan, monopolisasi telah berakhir. Otoritas jadi mitos. Saat komunikasi publik tetap berpola klasik, metodenya ketinggalan zaman, tak bisa lagi diterapkan. Temuannya menunjukkan, transformasi digital memang meningkatkan kapasitas komunikasi. Namun disertai tuntutan meningkatnya ketelitian, profesionalisme dan adaptasi terhadap lingkungan yang terus berkembang.
Dengan realitas baru ~akibat kehadiran medium digital yang pemanfaatannya makin intensif dan fasih~ menteri maupun pejabat publik tak selayaknya berkelit. Juga berbahasa otoritatif yang justru membingungkan publik. Salah satu hasil membanggakan digitalisasi, berupa tersedia dan terserapnya berbagai informasi.
Baik informasi yang diperlukan maupun tak diperlukan. Ini mulai informasi pemindahan Ibu Kota Nusantara, berpergiannya anak pejabat ke manca negara, hingga cara beternak lele maupun membuka botol soda tanpa tenaga pun, tersedia.
Ketika seluruhnya itu ditambah dengan realitas: Indonesia merupakan negara dengan screen time tertinggi di dunia. Ini mencapai 5.7 jam perhari berdasar data “State of Mobile 2023”. Seluruhnya memberi keleluasaan bagi publik, menelusuri informasi yang tak masuk akal, bernada menyepelekan. Publik punya aneka cara.
Karenanya, cukup dengan gambar jendela pesawat yang tak lazim ditemui pada pesawat komersial, alih-alih jenis pesawat berikut serinya, rute pesawat pun terlacak. Maka ketika pejabat publik tak menyesuaikan komunikasinya menjadi lebih cerdas, seluruhnya akan berakhir dengan olok-olok yang berkepanjangan. Mengubah pola komunikasi publik adalah keharusan. Jika tak mau jadi tertawaan.