Opini : Daeng Supriyanto
Dalam Islam, puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam dan wajib hukumnya. Puasa dimaksudkan untuk melatih kesabaran dan pengendalian diri, serta meningkatkan rasa syukur.
Tradisi puasa ternyata tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim, pemeluk agama lain pun memiliki tradisi puasa. Puasa dalam agama lain memiliki aturan yang berbeda dengan Islam, namun tujuannya hampir sama yaitu melatih disiplin dan kesabaran.
Dalam agama Buddha, puasa disebut sebagai Uposatha. Tanggal puasa bergantung pada aliran Buddha yang diikuti, namun mereka sama-sama mengikuti perhitungan kalendar Buddhis. Ketika berpuasa, umat Buddha masih diperbolehkan untuk minum namun tidak boleh makan.
Untuk melaksanakan delapan aturan selama melakukan Uposatha yang disebut dengan uposatha-sila, yaitu tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan kegiatan seksual, tidak berbohong, tidak makan pada siang hari hingga dini hari, dan tidak menonton hiburan atau memakai kosmetik, parfum, dan perhiasan.
Jenis puasa lain yang dilaksanakan oleh Buddhis adalah puasa vegetaris atau tidak boleh mengkonsumsi makanan yang berasal dari produk hewani dan tidak mengkonsumsi bawang-bawangan. Puasa ini dilakukan pada tanggal 1 dan 15 berdasarkan kalender bulan.
Dalam agama Katolik, masa puasa pra-Paskah berlangsung selama 40 hari, dihitung dari hari Rabu Abu hingga Jumat Agung. Umat Katolik mengenal istilah berpantang dan berpuasa. Berpuasa wajib bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun. Saat berpuasa, mereka hanya diizinkan untuk makan kenyang sekali saja dalam sehari.
Sementara itu, berpantang wajib untuk mereka yang berusia 14 tahun ke atas. Berpantang dilakukan dengan cara menghindari diri dari melakukan hal-hal yang disukainya, misal makan daging, garam, atau merokok.
Berpuasa dan berpantang merupakan cara untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menyatukan pengorbanan umat Katolik dengan pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib.
Puasa dalam agama Hindu disebut dengan Upawasa. Upawasa ada yang wajib ada juga yang tidak wajib.
Upawasa yang wajib misalnya adalah Upawasa Siwa Ratri, umat Hindu tidak boleh makan dan minum dari matahari terbit hingga terbenam. Lalu puasa Nyepi, yang dilakukan dengan cara tidak makan dan minum sejak fajar hingga fajar keesokan harinya.
Puasa lain yang dianggap wajib adalah puasa untuk menembus dosa yang dilakukan selama tiga hari, puasa tilem, dan purnama.
Puasa atau Ta’anit dalam agama Yahudi dibagi menjadi dua, yaitu pada hari besar, Yom Kippur dan Tisha B’Av, juga pada hari kecil, misalnya puasa Esther dan puasa Gedhalia.
Pada saat puasa, mereka tidak diperkenankan untuk makan dan minum, berhubungan seks, mengenakan sepatu kulit, dan khusus pada hari Yom Kippur, umat Yahudi tidak diperkenankan untuk menggosok gigi.
Kecuali pada saat Yom Kipur, puasa tidak boleh dilakukan pada hari Sabat. Sehingga, apabila puasa selain puasa Yom Kippur jatuh para hari Sabat, para Rabbi akan memutuskan hari pengganti untuk berpuasa.
Puasa dalam kepercayaan Konghucu juga merupakan cara untuk mensucikan diri dan melatih diri, baik itu untuk menjaga perilaku, perkataan, dan agar diri kita dipenuhi cinta kasih. Puasa Konghucu ada dua jenis: puasa rohani dan jasmani.
Puasa rohani dilakukan dengan menjaga diri dari hal-hal yang dianggap asusila. Sementara puasa jasmani dilakukan pada bulan Imlek.
Puasa dilakukan dengan cara berpantang makan daging secara bertahap, ada yang hanya sehari, dua hari, dan seterusnya hingga berpantang permanen.
Pada tanggal 8 bulan pertama Imlek, dilakukan puasa penuh dari pukul 05.30 hingga 22.00. Puasa diawali dengan mandi keramas dan berakhir setelah sembahyang.
Namun Ibarat orang berpuasa, tidaklah semestinya kita menyerupai anak-anak yang berpuasa untuk kali pertama setelah seharian kelaparan dan kehausan, lalu balas dendam begitu datang waktu berbuka dengan makan sebanyak-banyaknya dan minum sepuas-puasnya. Perut akan terlalu penuh hingga terasa sakit.
Hakekat Puasa sebenarnya merupakan penghentian sebentar kebiasaan yang sudah berlangsung lama. Suatu hari Khalifah Ja’far al-Mansur meminta izin kepada Imam Malik untuk memperbanyak karyanya, al-Muwatta’ dan menyebarkannya ke seluruh wilayah untuk menjadi pegangan amal kaum muslimin. Imam Malik menolaknya karena di mana-mana orang sudah mempunyai pegangan dan kebiasaan. “Mengubah orang banyak dari keyakinannya itu,” katanya “sangatlah sulit.”
Dalam Islam Hakekat Puasa sebulan penuh sebenarnya bisa berarti perbaikan kebiasaan. Mengubah kebiasaan memang memerlukan paksaan dalam waktu panjang, tidak bisa dalam sehari dua hari. Setiap orang saban hari beraktivitas dengan menggunakan tubuh, pikiran dan perasaannya. Itu dilakukan dengan cara tertentu yang menjadi kebiasaan.
Terkadang karena alasan lapar, orang sering melakukan tindakan gelap mata. Ia tidak bisa lagi melihat dan membedakan kebaikan sebagai kebaikan, kebenaran sebagai kebenaran, dan kemuliaan sebagai kemuliaan. Dengan berpuasa, seseorang dilatih untuk tidak menjadikan lapar sebagai justifikasi terhadap pelanggaran-pelanggaran moral dan hukum.
Dengan pengendalian nafsu, manusia dibebaskan dari kungkungan hawa nafsunya sendiri. Hal ini tak lain karena dalam diri setiap manusia dipancarkan dua sinar kendali, fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha, yakni kendali negatif (fujur) dan kendali positif (taqwa) (QS.91: 8).
Manusia yang dikendalikan oleh fujur-nya, hedonismenya, dia akan terkondisikan menjadi orang yang terbiasa melakukan pelanggaran nilai-nilai kebaikan dan moralitas. Begitu juga sebaliknya. Untuk itu, pembebasan dalam konteks ini harus diartikan sebagai pembebasan diri manusia dari kendali dan hegemoni nafsu fujur. Karena ketika fujur bisa dikendalikan, maka yang kemudian terpancar adalah kendali taqwa, sebagaimana tujuan akhir dari perintah puasa ini, la’allakum tattaquun (agar kamu menjadi orang yang bertakwa).
Puasa yang pada awalnya adalah momen pembebasan diri sendiri (even personal), harus diwujudkan dalam tatanan masyarakat yang lebih luas. Artinya, puasa personal yang dilakukan pada bulan puasa harus diimplementasikan ke dalam puasa sosial, puasa yang distrukturkan dalam tatanan masyarakat agar orang menghormati yang lain, supaya orang dapat mengendalikan nafsu fujur-nya, supaya orang memiliki komitmen untuk selalu mengulurkan tangan untuk umat yang lemah, dan seterusnya.
Strukturisasi kesadaran ini penting karena ajaran-ajaran agama yang bersifat personal, akan mempunyai dampak sosial yang nyata. Bukankah peristiwa-peristiwa sosial pangkalnya adalah perkara-perkara personal? Juga kesalahan kolektif, bukankah terjadi karena kesalahan-kesalahan personal? Pendeknya, puasa yang ritual adalah puasa yang dijalani selama bulan Ramadhan, tetapi puasa yang aktual adalah sebelas bulan sesudahnya.
Inilah tantangan yang mesti kita hadapi bersama. Puasa yang kita lakukan selama bulan Ramadhan, sampai sekarang ini, ternyata belum mampu mendidik kaum muslim menjadi pribadi-pribadi yang bertaqwa. Mereka ternyata belum mampu menangkap pesan pembebasan yang terkandung dalam ajaran puasa. Mereka masih terjebak pada simbol keagamaan yang ritualistik.
Kenyataan demikian bisa dilihat dari maraknya perilaku yang jauh dari nilai-nilai etis. Orang masih sering tidak bisa menahan diri dari hal-hal yang diharamkan, terlebih yang dihalalkan. Orang masih suka berbohong, meskipun selama sebulan penuh ia ditempa puasa. Orang masih tidak mau berbagi, meski di sekitarnya dijumpai masyarakat yang tidak bisa makan dan hidup dalam kemelaratan.
Parahnya lagi, ada juga orang yang menjadikan puasa Ramadhan hanya sebagai tameng dalam menjalani hidup. Ramadhan dijadikannya sebagai bulan “kepura-puraan”; pura-pura beramal salih dan bersedekah, pura-pura tidak korupsi, pura-pura berbuat baik kepada rakyat miskin, dan kepura-puraan yang lain. Sebelas bulan berikutnya, mereka kembali melakukan tindakan melawan hukum, serta mengeksploitasi masyarakat demi meraih tujuan pribadinya.
Akhirnya, puasa hanyalah ritual rutin yang tidak memberikan dampak apapun bagi perubahan bangsa ini. Sehabis puasa, praktik koruptif kembali terjadi. Orang miskin terus dimiskinkan, meskipun pelaku pemiskinan itu telah menjalani puasa sebulan penuh. Hukum pun hanya berpihak pada orang-orang yang memiliki duit dan akses hukum. Nafsu fujur yang telah berhasil ditaklukkan selama puasa berlangsung, kembali menguasai bahkan seketika Syawal datang.
Jadi, untuk apa sebenarnya kita berpuasa? Benarkah untuk mengubah diri menjadi pribadi yang lebih bertaqwa, atau hanya lantaran tidak enak dengan tetangga? Mampukah kita menangkap pesan pembebasan puasa sebagaimana mestinya, la ‘allakum tattaquun, sehingga berbuah semangat untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, dan menciptakan tata kehidupan yang berkeadilan?